Empat perempuan dengan rambut hitam sebahu menari ritmis menirukan gerakan-gerakan burung yang mengepakkan sayapnya. Sambil mengibas-kibaskan bajunya seolah-olah menyerupai kepakan sayap, dari mulut mereka keluar suara mirip burung gagak.
Gerakan mereka cukup sederhana, kadang berjongkok, membungkuk, lalu kembali berdiri tegak. Kadang berkumpul, tak lama kemudian menyebar. Orang-orang Ainu, penduduk asli Jepang, menyebut gerakan-gerakan tersebut sebagai Sarorunchikap Rimse atau tarian burung bangau.
Selain Sarorunchikap, ada juga tarian tradisional lainnya yang memperagakan teknik berburu satwa di hutan menggunakan panah. Tarian ini diperagakan oleh seorang pria yang sudah sepuh.
Tarian panah untuk berburu (Sudrajat/detikTravel)
|
Selain tarian, di akhir pertunjukan ada atraksi instrumen musik tiup Mukli oleh dua perempuan Ainu. Ukuran alat musik ini cuma sejengkal. Sambil didekatkan ke bibir untuk ditiup, salah satu ujung Mukli ditarik-tarik secara perlahan. Kelompok musik Saunine di Indonesia sebetulnya sudah melengkapi penampilan mereka dengan instrumen ini.
Sekitar 50 pengunjung gedung pertunjukan di Ainu Kotan atau perkampungan Ainu di dekat tepian Danau Akan, memberi tepuk tangan meriah setiap kali tarian usai diperagakan.
Selain sejumlah wartawan dan blogger dari Indonesia yang datang atas undangan Japan National Tourism Organization (Dinas Pariwisata Jepang) Jakarta, selebihnya pengunjung berasal dari Taiwan.
Sepintas, penampilan orang-orang suku Ainu mulai dari pakaian dan asesorisnya, lebih mirip dengan suku Indian di Amerika atau Dayak di Kalimantan. Ikat kepala dari kulit kayu, bulu burung, baju dari kulit binatang.
"Saya belum tahu orang Dayak seperti apa, tapi saya kira memang ada kemiripan dengan suku Indian di Amerika," kata Kobayashi, pemandu perjalanan kami.
Di Pulau Hokkaido, selain di Kushiro Suku Ainu banyak tinggal di wilayah Tohoku, Chrishima dan Sakhalin sejak ratusan tahun lalu. Hanya saja, menurut Kobayashi, populasi mereka dari tahun ke tahun terus menurun.
Sebuah sumber menyebut di Hokkaido terdapat sekitar 24.000 orang Ainu. Tapi Kobayashi tak berani menyebutkan data sensus yang pasti. Sebab meski pada umumnya mereka cenderung tertutup, ada juga yang sudah mau kawin campur dengan suku lain.
Rumah adat Suku Ainu (Sudrajat/detikTravel)
|
Khusus untuk atap dibuat dari anyaman ranting pepohonan, dan untuk alas mereka di dalam rumah ada anyaman kulit kayu yang menyerupai tikar. Di ruang tengah rumah mereka biasa terdapat tunggu untuk menghangatkan badan di musim dingin.
Di bagian gerbang perkampungan biasanya mereka membangun semacam pos jaga. Pos ini juga terbuat dari balok kayu dengan median sekitar 75-85 centimeter.
Pos jaga depan desa (Sudrajat/detikTravel)
|
Di perkampungan ini hingga ke area di sekitar danau Akan, traveler dapat membeli aneka kerajinan tangan suku Ainu. Umumnya berupa pahatan kayu berbentuk aneka satwa. Harga termurah rata-rata Rp 35 ribu, dan termahal bisa sampai seratusan ribu rupiah. (rdy/rdy)
0 Response to "Mengenal Suku Ainu di Hokkaido, Jepang"
Posting Komentar